Cerita Dewasa - Perlakuan Spesial Ibu terhadap Anak angkat



Perlakuan Spesial Ibu Terhadap Anak Angkat nya


Perlakuan Spesial Ibu terhadap Anak

Jam dinding berdentang satu kali. Malam semakin larut, tapi Ana masih duduk di ruang tengah. Sejak tadi matanya sulit terpejam. Baru beberapa jam yang lalu Ibu Mas Irfan, suaminya, menelepon,
“Na, Alhamdulillah, barusan ini keponakanmu bertambah lagi…” suara ibu terdengar bahagia di sana.
“Alhamdulillah… laki-laki atau perempuan, Bu?” Ana kaget dan senang. Sudah beberapa hari ini keluarga besar Mas Irfan memang sedang berdebar-debar menanti berita ini, adik suaminya, yang akan melahirkan.
“Laki-laki Na, mirip Mas-mu diwaktu bayi…” Ibu tertawa bahagia. Rini memang adik yang termirip wajahnya dengan Mas Irfan.
“Selamat ya, Bu, nambah cucu lagi. Salam buat Rini, Insya Allah besok, Ana dan Mas Irfan akan jenguk ke rumah sakit.” janji Ana sebelum menutup pembicaraan dengan Ibu yang sedang menunggu Rini di rumah sakit.

Setelah menutup telepon, Ana termenung sesaat. Ia jadi teringat usia pernikahannya yang telah memasuki tahun ke 4, tapi belum juga ada tangis Bayi  menghiasi rumah mereka. Meskipun demikian ia tetap ikut merasa bahagia mendengar berita kelahiran anak kedua Rini di usia pernikahan mereka yang baru tiga tahun.

“Kok melamun?!” Mas Irfan yang baru keluar dari kamar mandi mengagetkannya. Ia memang pulang agak malam hari ini, ada rapat di kantor katanya. “Mas, ibu tadi mengabari, Rini sudah melahirkan. Bayinya laki-laki,” cerita Ana.
“Alhamdulillah… Dila sudah punya adik sekarang,” senyum Mas Irfan sambil mengeringkan rambutnya, tapi entah mengapa Ana menangkap ada sedikit nada getir dalam suaranya. Ana menepis perasaannya sambil segera makan malam.

Selepas Isya’an bersama, Mas Irfan segera terlelap, seharian ini ia memang lelah sekali. Ana juga sebenarnya agak lelah hari ini. Ia memang beruntung, selepas kuliah dan merasa tidak nyaman bekerja di kantor, Ana memutuskan untuk membuat usaha sendiri saja.
Dibantu temannya yang seorang notaris, akhirnya Ana mendirikan perusahaan kecil-kecilan yang bergerak di bidang design interior. Ana memang berlatar pendidikan bidang tersebut, ditambah lagi ia punya bakat seni untuk merancang sesuatu menjadi indah dan menarik. Bakat yang selalu tak lupa disyukurinya. Keluarga dan teman-teman banyak yang mendukungnya, akhirnya sekarang ia sudah memiliki kantor mungil sendiri tidak jauh dari rumahnya.

Dan, seiring dengan kemajuan dan kepercayaan yang mereka peroleh, perusahaannya sedikit demi sedikit mulai dikenal dan dipercaya masyarakat. Tapi Ana merasa itu tidak terlalu melelahkannya, semua dilakukan semampunya saja, sama sekali tidak memaksakan diri, malah menyalurkan hobi dan bakatnya merancang dan mendesign sesuatu sekaligus mengisi waktu luangnya. Beberapa karyawan yang sigap dan cekatan membantunya. Malah sekarang sudah ada beberapa designer interior lain yang bergabung di perusahaan mungilnya.

Itu sebabnya sesekali saja Ana agak sibuk mengatur ketika ada pesanan mendesign yang datang, selebihnya teman-teman yang mengerjakan. Waktu Ana terbanyak tetap buat keluarga, mengurus rumah atau masak buat Mas Irfan meski ada Sinta yang membantunya di rumah, menurutnya itu tetap pekerjaan nomor satu.

Ana juga bisa tetap rutin mengaji mengisi ruhaniahnya. Namun karena kegiatannya itu, biasanya ia tidur cepat juga, tapi malam ini rasa kantuknya seperti hilang begitu saja. Berita dari ibu tadi membuat Ana teringat lagi. Teringat akan kerinduannya menimang si kecil, buah hatinya sendiri.

Lima tahun pernikahan adalah bukan waktu yang sebentar. Awalnya Ana biasa saja ketika enam bulan pertama ia tak kunjung hamil juga, ia malah merasa punya waktu lebih banyak untuk suaminya dan merintis kariernya.
Seiring dengan berjalannya waktu dan tak hentinya orang bertanya, dari mulai keluarga sampai teman-temannya, tentang kapan mereka menimang bayi, atau kenapa belum hamil juga, Ana mulai khawatir. Fitrahnya sebagai wanita juga mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada dirinya, atau kapan ia hamil seperti pasangan lainnya…
Atas saran dari banyak orang, Ana mencoba konsultasi ke dokter kandungan. Seorang dokter wanita dipilihnya. Risih juga ketika menunggu giliran di ruang tunggu klinik, pasien di sekitarnya datang dengan perut membuncit dan obrolan ringan seputar kehamilan mereka. Atau ketika salah seorang diantara mereka bertanya sudah berapa bulan kehamilannya.
“Saya tidak sedang hamil, hanya ingin konsultasi saja…” senyum Ana sabar meski dadanya berdebar, sementara Mas Irfan semakin pura-pura asyik dengan korannya. Ana bernafas lega ketika dokter menyatakan ia sehat-sehat saja. Hindari stress dan lelah, hanya itu nasehatnya.

Setahun berlalu. Di tengah kebahagiaan rumah tangganya, ada cemas yang kian mengganggu Ana. Kerinduan menimang bayi semakin menghantuinya. Sering Ana gemas melihat tingkah polah anak-anak kecil disekitarnya, dan semakin bertanya-tanya apa yang terjadi dengan dirinya.

Setelah itu mulailah usaha Ana dan suaminya lebih gencar dan serius mengupayakan kehamilan. Satu demi satu saran yang diberikan orang lain mereka lakukan, sejauh itu baik dan tidak melanggar syariat agama. Beberapa dokter wanita juga kadang mereka datangi bersama, meski lagi dan lagi, sama saja hasilnya. Sementara hari demi hari, tahun demi tahun terus berlalu.

Kadang Ana menangis ketika semakin gencar pertanyaan ditujukan padanya atau karena cemas yang kerap mengusik tidurnya. Mas Irfan selalu sabar menghiburnya, “Ana, apa yang harus disedihkan? Dengan atau tanpa anak, rumah tangga kita akan berjalan seperti biasa. Aku sudah sangat bahagia dengan apa yang ada sekarang. Insya Allah tidak akan ada yang berubah dalam rumah tangga kita…” kata Mas Irfan suatu ketika seperti bisa membaca jalan pikirannya.

Suaminya memang tahu kapan Ana sedang mendalam sedihnya dan harus dihibur agar tidak semakin larut dalam kesedihan. Di saat-saat seperti itu memang cuma suaminya yang paling bisa menghiburnya, tentu saja disamping do’a dan berserah dirinya pada Tuhan.

Kadang Ana heran kenapa Mas Irfan bisa begitu sabar dan tenang, seolah-olah tidak ada apapun yang terjadi. Dia selalu ceria dan optimis seperti biasa. Apakah memang pria tidak terlalu memasukkan unsur perasaannya atau mereka hanya pintar menyembunyikan perasaan saja? Ana tidak tahu, yang pasti sikap Mas Irfan banyak membantu melewati masa-masa sulitnya.

Sebenarnya Ana juga bukan selalu berada dalam kondisi sedih seperti itu. Sesekali saja ia agak terhanyut oleh perasaannya, biasanya karena ada faktor penyulutnya, yang mengingatkan ia akan mimpinya yang belum terwujud itu. Selebihnya Ana bahagia saja, bahkan banyak aktivitas atau prestasi yang diraihnya.

Buatnya tidak ada waktu yang disia-siakan. Selagi sempat, semua peluang dan kegiatan positif dilakukannya. Kadang-kadang beberapa teman menyatakan kecemburuannya terhadap Ana yang bisa melakukan banyak hal tanpa harus disibuki oleh rengekan si kecil. Ana tersenyum saja.

Ana juga tidak pernah menyalahkan teman-temannya kalau ketika sesekali bertemu obrolan banyak diisi tentang anak dan seputarnya. Buatnya itu hal biasa, usia mereka memang usia produktif. Jadi wajar saja kalau pembicaraan biasanya seputar pernikahan, kehamilan, atau perkembangan anak-anak mereka yang memang semakin lucu dan menakjubkan, atau cerita lain seputar itu. Biar bagaimanapun Ana menyadari menjadi ibu adalah proses yang tidak mudah dan perlu belajar atau bertukar pengalaman dengan yang lain.

Tapi kadang-kadang, sesekali ketika Ana sedang sedih, rasanya ia tidak mau mendengar itu dulu. Ana senang juga jika ada yang berusaha menjaga perasaannya diwaktu-waktu tertentu, dengan tidak terlalu banyak bercerita tentang hal tersebut, bertanya, atau malah menyemangati dengan do’a dan dukungan agar sabar dan yakin akan datangnya si kecil menyemarakkan rumah tangganya.

Ana tersadar dari lamunannya. Diminumnya segelas air dingin dari lemari es. Sejuk sekali. Meskipun malam tapi udara terasa pengap. Ana meneruskan tidurnya. Dalam lelap ia bermimpi bermain bersama beberapa gadis kecil. Senang sekali.

Siang keesokan harinya, Ana sedang merancang sebuah ruang pameran di kantornya. Ada festival Islam yang akan digelar, mungkin karena tidak banyak designer interior berjilbab rapi seperti Ana, ia dipercaya merancangnya. Ketika sedang mencorat-coret gambar, Fitri mengejutkannya, “Mbak Ana, ada tamu yang mau bertemu.”
“Dari mana, Fit?” tanya Ana.
“Katanya dari Yayasan Amanah, mbak, tanya soal aplikasi mbak Ana bulan kemarin.”
“Oh itu. Iya deh, saya ke depan sepuluh menit lagi.” jawab Ana.
Setelah berbincang-bincang dengan tamunya, akhirnya Ana menyepakati mengangkat salah satu anak yatim yang diasuh yayasan tersebut sebagai putra asuhnya. Namanya Safiq. Ana memang selalu menyisihkan rezekinya untuk mereka yang membutuhkan.

Dan kali ini, ia berniat untuk menyantuni dan mengasuh Safiq seperti anaknya sendiri, itupun setelah dimusyawarahkan dengan suaminya. Ana berharap, dengan begitu ia bisa cepat hamil. Ibu-ibu banyak yang mengatakan, mungkin Ana perlu ’pancingan’ agar bisa lekas dapat momongan.
Begitulah, mulai saat itu, Safiq yang berusia 12 tahun, tinggal bersama Ana dan Irfan.
Mempunyai ’anak’, membawa banyak hikmah bagi Ana. Ia jadi semakin teliti dan perhatian. Apapun kebutuhan Safiq berusaha ia penuhi. Mulai dari baju hingga mainan, juga kebutuhan sekolah bocah itu yang tahun depan mau masuk SMP.

cerita dewasa terbaru

Ana juga mencurahkan seluruh kasih sayangnya pada Safiq, hingga mas Irfan yang merasa tersisih, sempat melayangkan protes sambil bercanda, ”Hmm, gimana kalau punya anak beneran ya, bisa-bisa aku nggak boleh tidur di kamar.”
Ana cuma tertawa menanggapinya.
”Ah, mas bisa aja.” dia mencubit pinggang laki-laki itu.
Dan selanjutnya merekapun bergumul di ranjang untuk memuaskan satu sama lain, sambil berharap persetubuhan kali ini akan membuahkan hasil.

Esok paginya, seperti biasa, Ana menyiapkan sarapan bagi Safiq. Tidak terasa, sudah hampir tiga bulan bocah itu tinggal bersamanya. Dan Ana merasa senang sekaligus bersyukur, karena pilihannya ternyata tidak salah, Safiq sangat pintar dan baik. Anak itu tidak nakal, sangat menurut meski agak sedikit pendiam. Hanya kepada Ana lah ia mau berbincang, sedangkan dengan mas Irfan, Safiq seperti menjaga jarak.
”Kenapa, Fiq?” tanya Ana menanyakan sebabnya saat mereka sarapan bersama. Saat itu mas Irfan sudah berangkat ke kantor, sedangkan Safiq masuk siang.

Bocah itu terdiam, hanya jari-jari tangannya yang bergerak memainkan bulatan bakso di atas nasi gorengnya.
”Tidak apa-apa, ngomong saja sama Umi.” kata Ana. Dia memang menyuruh Safiq untuk memanggilnya dengan panggilan ’Umi’ sedangkan untuk mas Irfan ’Abi’.

”Ah, nggak, Mi.” Safiq masih tampak takut.
Ana menatapnya. Di usianya yang baru beranjak remaja, bocah itu terlihat tampan. Kalau besar nanti, pasti banyak gadis yang akan terpikat kepadanya.
”Umi nggak akan marah.” kata Ana lagi, penuh dengan sabar.
Safiq menggeleng, dia menundukkan kepalanya semakin dalam.
Kasihan, Ana pun mendekatinya.

”Tidak apa-apa kalau kamu nggak mau bilang, umi nggak akan maksa.” Dipeluknya bocah kecil itu, diletakkannya kepala Safiq di atas gundukan buah dadanya.
Ia biarkan Safiq menangis di situ.

”Maaf kalau Umi sudah membuatmu takut.” ucap Ana penuh nada penyesalan, ia memang tidak berharap perbincangan ini akan berakhir seperti itu.

Lama mereka berpelukan, hingga Ana merasa tangis Safiq perlahan mereda dan akhirnya benar-benar berhenti. Ia sudah akan melonggarkan dekapannya saat merasakan sesuatu yang lembut mengendus dan menyundul-nyundul pelan buah dadanya.
Ah, Safiq! Apa yang kamu lakukan? Ana memang cuma mengenakan daster longgar saat itu, hanya saat keluar rumah atau ada tamu pria, ia mengenakan jilbab. Dengan pakaian seperti ini, bibir Safiq yang bermain di belahan payudaranya sungguh sangat-sangat terasa.
Cepat Ana melirik ke bawah, dilihatnya si bocah yang kini berusaha mencium dan menyusu ke arah buah dadanya.
”Safiq!” Ana menegur, tapi dengan suara dibuat selembut mungkin, takut membuat bocah itu kembali mengkerut. Padahal dalam hati, Ana benar-benar mengutuk aksinya yang sudah kurang ajar.
Safiq mendongakkan kepala, ”M-maaf, Mi.” suaranya parau, sementara tubuhnya gemetar pelan.
Tak tega, Ana segera memeluknya kembali. ”Tidak apa-apa, tapi jangan diulang lagi ya. Itu tidak boleh.” ia membelai rambut Safiq penuh rasa sayang.

Safiq mengangguk. ”Maaf, Mi. Safiq cuman pengen tahu gimana rasanya nenen.”
Ana terkejut, ”Emang kamu belum pernah?” tanyanya tak percaya.
”Safiq kan yatim piatu dari kecil, Mi. Jangankan nenen, siapa ibu Safiq aja nggak ada yang tahu. Safiq ditinggal di depan pintu yayasan.” jawab bocah itu dengan getir.

Ana meneteskan air mata mendengarnya, ia mendekap dan mengelus kepala Safiq lebih erat lagi. Setelah terdiam cukup lama, Ana akhirnya membuka suara, ”Bener kamu pengen nenen?” tanyanya dengan suara berat. Keputusan sudah ia ambil, meski itu awalnya begitu berat.
Safiq menganggukkan kepala.

”Janji ya, cuma nenen?” tanya Ana sambil memandang matanya.
”I-iya, Mi.” angguk Safiq cepat.
”Dan jangan ceritakan ini sama orang lain, termasuk pada Abi. Karena anak sebesar kamu sudah tidak seharusnya nenen pada Umi, ini tidak boleh. Tapi karena kasihan, Umi terpaksa mengabulkannya.” terang Ana, terbersit nada getir dalam suaranya.
”Iya, Mi. Safiq janji.” kata bocah kecil itu.

Begitulah, dengan perlahan Ana pun menurunkan dasternya hingga buah dadanya yang besar terlihat jelas. Meski masih tertutup BH, benda itu tampak begitu indah. Ukurannya yang di atas rata-rata membuatnya jadi tampak sesak. Ana segera membuka cup BH-nya, tanpa ada yang menyangga, bulatan kembar itupun terlontar dengan kerasnya hingga sanggup membuat mata bulat Safiq makin melotot lebar.

Cerita Dewasa Terbaru

”M-mi…” Safiq memanggil, tapi pandangannya sepenuhnya tertuju pada area dada sang ibu angkat yang kini sudah terbuka lebar, siap untuk ia jamah.
”Ayo, katanya mau nenen?” kata Ana sambil menarik salah satu bulatan payudaranya ke depan, memberikan putingnya yang merona merah pada Safiq.

Tahu ada benda mulus menggiurkan yang mendekat ke arah mulutnya, Safiq pun membuka bibir, dan mencaplok puting Ana dengan perlahan, ”Ahm…” lenguh mereka berdua hampir bersamaan.
Ana kegelian karena ada lidah basah yang melingkupi ujung payudaranya, sedangkan Safiq merasa nikmat mendapat benda yang selama ini ia idamkan-idamkan. Lidahnya terus menari membelai puting payudara Umi-nya, sedangkan bibirnya terus mengecap untuk mencucup dan menghisap-hisapnya.

”Ah, jangan keras-keras, Fiq. Sakit!” desis Ana di sela-sela jilatan sang anak angkat. Ia mulai merasa merinding, jilatan Safiq mengingatkannya pada mas Irfan, yang biasa melakukannya sebelum mereka tidur. Meski aksi Safiq terasa agak sedikit kaku, tapi sensasi dan rasanya tetaplah sama.
Sementara itu, Safiq dengan tak sabar dan penasaran terus menyusu. Mulutnya dengan liar bermain di gundukan payudara Ana. Tidak cuma yang kiri, yang kanan juga ia perlakukan sama. Kadang Safiq malah membenamkan wajahnya di belahan payudara Ana yang curam, dan membiarkan mukanya dikempit oleh bulatan kenyal itu, sambil tangannya mulai meremas-remas ringan.
”Ah, Fiq.” rintih Ana mulai tak sadar. Ia menekan kepala bocah itu, berharap Safiq mempermainkan payudaranya lebih keras lagi.

Safiq yang gelagapan berusaha mencari udara, digigitnya salah satu puting Ana hingga umi-nya itu menjerit kesakitan.
”Auw, Fiq! Apaan sih, sakit tahu!” Ana mendelik marah, tapi melihat muka Safiq yang memerah dan nafasnya yang ngos-ngosan, iapun akhirnya mengerti. ”Eh, maaf. Umi nggak tahu.”
”Gak apa-apa, Mi.” Safiq tersenyum, kedua tangannya masih hinggap di dada Ana dan terus meremas-remas ringan disana.

”Gimana, kamu suka?” tanya Ana sambil membelai kepala Safiq penuh rasa sayang.
Si bocah mengangguk,
”Iya, Mi.”
”Mau lagi?” tanya Ana.
Safiq mengangguk, senyumnya terlihat semakin lebar.
”Kalau begitu, ayo sini.” Ana pun menarik kepala bocah itu dan ditaruhnya kembali ke atas gundukan payudaranya.

Begitulah, sampai siang, Safiq terus menyusu di bongkahan payudara Ana, sang ibu angkat yang masih berusia muda, tidak lebih dari 30 tahun. Dengan payudara yang masih mulus sempurna, Safiq benar-benar dimanjakan. Ia menjadi bocah yang paling beruntung di dunia. Sementara Ana juga merasa senang karena kini ia menjadi semakin intim dan akrab dengan sang putra angkat yang sangat ia sayangi.
 
Rutinitas itu terus berlangsung. Kapanpun dan dimanapun Safiq ingin, asal tidak ada orang -terutama mas Irfan- Ana dengan senang hati menyusuinya. Dan seperti yang sudah dijanjikan, Safiq memang tidak pernah meminta lebih.

Bocah itu cuma meremas dan menghisap, tidak macam-macam. Ditambah lagi, sama sekali tidak ada nafsu ataupun birahi dalam setiap jilatannya, Safiq benar-benar murni melakukannya karena pengen nenen. Ana jadi merasa aman.

Tapi semua itu berubah saat Safiq naik ke jenjang SMP.
Umur yang bertambah membuat pikiran bocah itu semakin berkembang. Dari yang semula cuma nenen biasa, kini berubah menjadi jilatan mesra yang sangat lembut namun sangat menggairahkan. Remasan bocah itu juga semakin bervariasi kadang keras, kadang juga lembut.

Kalau menghisap puting yang kiri, Safiq memijit dan memilin-milin yang kanan, begitu pula sebaliknya. Tak jarang Safiq mendempetkan dua puting itu dan menghisapnya dalam satu waktu. Pendeknya, Safiq sekarang sudah tumbuh menjadi remaja yang tahu apa arti seks yang sesungguhnya.
Ana bukannya tidak mengetahui hal itu. Ia sudah bisa menebaknya saat melihat penis Safiq yang sedikit ereksi saat mereka sedang melakukan ’ritual’ itu. Tapi Ana pura-pura tidak tahu dan mendiamkannya saja.

Cerita Dewasa Terbaru

Toh Safiq juga tidak berbuat macam-macam, anak itu tetap ’sopan’. Malah Ana yang panas dingin, itu karena ukuran penis Safiq yang saat ini sudah melebihi punya mas Irfan, padahal usia bocah itu masih sangat muda. Gimana kalau nanti sudah besar…!!! ah, Ana tidak kuat membayangkannya.

Esoknya, saat membangunkan Safiq untuk sholat subuh, Ana disuguhi pemandangan baru lagi. Saat itu Safiq masih tertidur lelap, tapi tidak demikian dengan penisnya. Benda itu sedang berdiri dan menjulang begitu tegarnya. Sempat Ana terpana dan terpesona untuk beberapa saat, tapi setelah bisa menguasai diri, ia segera membangunkan sang putra.

”Fiq, ayo sholat dulu.”
Safiq cuma menggeliat lalu meneruskan tidurnya. Ana jadi tergoda. Apalagi sekarang di depannya, penis Safiq jadi kelihatan lebih menantang. Ukurannya yang begitu besar membuat Ana tercengang, dengan warna coklat kehitaman dan ‘kepala’ yang masih kelihatan imut (Safiq baru bulan kemarin disunat), benda itu jadi terasa seperti magnet bagi Ana.

Tanpa terasa perlahan jari-jarinya terulur dan mulai menggenggamnya. Ia memperhatikan wajah sang putra angkat, Safiq terlihat tenang saja, matanya tetap terpejam rapat sambil menikmati tidur pulasnya.
Dengan hati berdebar dan penuh perhitungan, takut dipergoki oleh sang suami -juga takut bila Safiq tiba-tiba bangun- Ana mulai mengocok benda panjang itu perlahan-lahan. Saat diperhatikannya Safiq tetap tertidur, malah bocah itu seperti menikmatinya -terlihat dari desah nafasnya yang semakin memburu dan tarikan lirih karena terangsang.

Ana pun mempercepat kocokannya. Hingga tak lama kemudian berhamburan cairan putih kental dari ujungnya. Safiq ejakulasi. Yang gilanya, akibat rangsangan Ana, ibu angkatnya sendiri.
Merasa sangat bersalah, dengan tergopoh-gopoh Ana segera membersihkannya. Saat itulah, Safiq tiba-tiba terbangun.
”Eh, umi…” gumamnya tanpa tahu apa yang terjadi.
Ana mengelap sisa sperma Safiq ke ujung dasternya,
”Ayo sholat dulu, sayang.” katanya dengan nada suara dibuat senormal mungkin, padahal dalam hati ia sangat berdebar-debar.
Safiq memperhatikan cairan putih kental yang berceceran di perutnya. Untuk yang ini, Ana tidak sempat membersihkannya. ”Ini apa, Mi?” Safiq mengambil cairan itu dan mempermainkan di ujung jarinya, lalu mengendusnya ke hidung.
”Ih, baunya aneh.” bocah itu nyengir.
Ana tersenyum,
”Tidak apa-apa, itu tandanya kamu sudah mulai dewasa.”
Safiq memandang umi-nya, ”Dewasa? Safiq nggak ngerti. Maksud Umi apaan?” tanyanya.
”Nanti Umi jelaskan, sekarang mandi dulu ya.” Ana membimbing putra kesayangannya turun dari ranjang.
Safiq menggeleng,
”Nggak mau ah, Mi. Dingin!”
”Eh, harus. Kalau nggak, nanti badanmu kotor terus. Ini namanya mandi besar.” terang Ana.
”Mandi besar?” tanya Safiq, lagi-lagi tidak mengerti.
”Ah, iya. Kamu kan belum pernah melakukannya. Ya udah, ayo Umi ajarin.” Ana mengajak Safiq untuk beranjak ke kamar mandi.
Di ruang tengah, dilihatnya mas Irfan kembali tidur setelah menunaikan sholat subuh. Sudah kebiasaan laki-laki itu, malam melek untuk sholat tahajud, habis subuh tidur lagi sampai waktu sarapan tiba. Dengan bebas Ana membimbing Safiq masuk ke kamar mandi.

“Lepas bajumu,” katanya memerintahkan.
Safiq dengan patuh melakukannya. Ia tidak risih melakukannya karena sudah biasa telanjang di depan ibu angkatnya. Tak berkedip Ana memperhatikan peNa Safiq yang kini sudah mengkerut dan kembali ke ukuran semula.
”Pertama-tama, baca Bismillah, lalu niat untuk menghilangkan hadast besar.” kata Ana.
”Emang Safiq baru dapat hadast besar ya?” tanya Safiq pada ibu angkatnya yang cantik itu.
Ana dengan sabar menjawab, ”Iya, kamu tadi mimpi enak kan?” tanyanya.
Safiq mengangguk,
”Iya sih, tapi Safiq sudah lupa ngimpiin apa.”
”Nggak masalah, itu namanya kamu mimpi basah. Itu tanda kedewasaan seorang laki-laki. Dan sehabis dapat mimpi itu, kamu harus mandi besar biar badanmu suci lagi.” sahut Ana.
Safiq mengangguk mengerti.
”Terus, selanjutnya apaan, Mi?”
”Selanjutnya… basuh kemaluanmu seperti ini,” Ana meraih penis Safiq dan mengguyurnya dengan air. Ajaib, bukannya mengkeret karena terkena air dingin, benda itu malah mendongak kaku dan perlahan kaku dan menegang karena usapan tangan Ana.
”Mi, enak…” Safiq merintih.
Ana jadi serba salah, cepat ia menarik tangannya. ”Eh,”
Tapi Safiq dengan kuat menahan, ”Lagi, Mi… enak,” pintanya.
Melihat pandangan mata yang sayu dan memelas itu, Ana jadi tidak tega untuk menolak. Tapi sebelumnya, ia harus memastikan segalanya aman dulu. Dikuncinya pintu kamar mandi, lalu ia berbisik pada sang putra.
”Jangan berisik, nanti Abimu bangun.” sambil tangan kanannya mulai mengocok pelan batang penis Safiq.
Safiq mengangguk. Yang kurang ajar, untuk meredam teriakannya, ia meminta nenen pada Ana. “Plis, Mi. Safiq pengen.”

Menghela nafas karena merasa dipecundangi Ana pun memberikan bongkahan payudaranya. Jadilah, di kamar mandi yang sempit itu, ibu serta anak yang seharusnya saling menghormati itu, melakukan hal buruk yang sangat dilarang agama. Safiq menggelayut di tubuh montok ibu angkatnya, sambil mulutnya menyusup ke bulatan payudara Ana.

Cerita Dewasa Terbaru

Bibirnya menjilat liar disana. Sementara istri Irfan, dengan nafas memburu menahan kenikmatan, terus mengocok penis besar sang putra hingga menyemburkan sperma yang dikandung di dalamnya tak lama kemudian.

Banyak dan kental sekali cairan itu, meski tidak seputih yang pertama, tapi pemandangan itu sudah cukup membuat Ana jadi horny. Wanita itu merasakan celana dalamnya jadi basah. Tapi tentu saja ia tidak mungkin menunjukkannya pada Safiq, bocah itu tidak akan mengerti. Jadi cepat-cepat ia bersihkan semuanya, takut mas Irfan yang sedang tertidur di ruang tengah tiba-tiba bangun dan memergoki ulah mereka.
Didengarnya Safiq menarik nafas panjang sambil mendesah puas, ”Terima kasih, Mi. Nikmat banget. Badan Safiq jadi enteng.”
Ana mengangguk mengiyakan. ”Sudah, sekarang mandi sana. Ulangi semuanya dari awal.”
Safiq tersenyum, dan dengan bimbingan dari ibu angkatnya yang cantik, iapun melakukan mandi wajib pertamanya.
Sejak saat itu, level ’permainan’ mereka jadi sedikit meningkat. Ana tidak cuma memberikan payudaranya, tapi kini juga harus memuaskan Safiq dengan tangannya. Dan si bocah, tampak senang-senang saja menerimanya. Siapa juga yang bakal menolak kenikmatan seperti itu.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »