Perlakuan Spesial Ibu Terhadap Anak Angkat nya
Jam
dinding berdentang satu kali. Malam semakin larut, tapi Ana masih duduk di
ruang tengah. Sejak tadi matanya sulit terpejam. Baru beberapa jam yang lalu
Ibu Mas Irfan, suaminya, menelepon,
“Na,
Alhamdulillah, barusan ini keponakanmu bertambah lagi…” suara ibu terdengar bahagia
di sana.
“Alhamdulillah… laki-laki atau perempuan, Bu?” Ana kaget dan senang. Sudah beberapa hari ini keluarga besar Mas Irfan memang sedang berdebar-debar menanti berita ini, adik suaminya, yang akan melahirkan.
“Alhamdulillah… laki-laki atau perempuan, Bu?” Ana kaget dan senang. Sudah beberapa hari ini keluarga besar Mas Irfan memang sedang berdebar-debar menanti berita ini, adik suaminya, yang akan melahirkan.
“Laki-laki
Na, mirip Mas-mu diwaktu bayi…” Ibu tertawa bahagia. Rini memang adik yang
termirip wajahnya dengan Mas Irfan.
“Selamat ya, Bu, nambah cucu lagi. Salam buat Rini, Insya Allah besok, Ana dan Mas Irfan akan jenguk ke rumah sakit.” janji Ana sebelum menutup pembicaraan dengan Ibu yang sedang menunggu Rini di rumah sakit.
“Selamat ya, Bu, nambah cucu lagi. Salam buat Rini, Insya Allah besok, Ana dan Mas Irfan akan jenguk ke rumah sakit.” janji Ana sebelum menutup pembicaraan dengan Ibu yang sedang menunggu Rini di rumah sakit.
Setelah menutup
telepon, Ana termenung sesaat. Ia jadi teringat usia pernikahannya yang telah
memasuki tahun ke 4, tapi belum juga ada tangis Bayi menghiasi rumah mereka. Meskipun demikian ia
tetap ikut merasa bahagia mendengar berita kelahiran anak kedua Rini di usia
pernikahan mereka yang baru tiga tahun.
“Kok melamun?!”
Mas Irfan yang baru keluar dari kamar mandi mengagetkannya. Ia memang pulang
agak malam hari ini, ada rapat di kantor katanya. “Mas, ibu tadi mengabari, Rini
sudah melahirkan. Bayinya laki-laki,” cerita Ana.
“Alhamdulillah…
Dila sudah punya adik sekarang,” senyum Mas Irfan sambil mengeringkan
rambutnya, tapi entah mengapa Ana menangkap ada sedikit nada getir dalam
suaranya. Ana menepis perasaannya sambil segera makan malam.
Selepas Isya’an
bersama, Mas Irfan segera terlelap, seharian ini ia memang lelah sekali. Ana
juga sebenarnya agak lelah hari ini. Ia memang beruntung, selepas kuliah dan
merasa tidak nyaman bekerja di kantor, Ana memutuskan untuk membuat usaha
sendiri saja.
Dibantu temannya
yang seorang notaris, akhirnya Ana mendirikan perusahaan kecil-kecilan yang
bergerak di bidang design interior. Ana memang berlatar pendidikan bidang
tersebut, ditambah lagi ia punya bakat seni untuk merancang sesuatu menjadi
indah dan menarik. Bakat yang selalu tak lupa disyukurinya. Keluarga dan
teman-teman banyak yang mendukungnya, akhirnya sekarang ia sudah memiliki
kantor mungil sendiri tidak jauh dari rumahnya.
Dan, seiring
dengan kemajuan dan kepercayaan yang mereka peroleh, perusahaannya sedikit demi
sedikit mulai dikenal dan dipercaya masyarakat. Tapi Ana merasa itu tidak
terlalu melelahkannya, semua dilakukan semampunya saja, sama sekali tidak
memaksakan diri, malah menyalurkan hobi dan bakatnya merancang dan mendesign
sesuatu sekaligus mengisi waktu luangnya. Beberapa karyawan yang sigap dan
cekatan membantunya. Malah sekarang sudah ada beberapa designer interior lain
yang bergabung di perusahaan mungilnya.
Itu sebabnya
sesekali saja Ana agak sibuk mengatur ketika ada pesanan mendesign yang datang,
selebihnya teman-teman yang mengerjakan. Waktu Ana terbanyak tetap buat
keluarga, mengurus rumah atau masak buat Mas Irfan meski ada Sinta yang
membantunya di rumah, menurutnya itu tetap pekerjaan nomor satu.
Ana juga bisa
tetap rutin mengaji mengisi ruhaniahnya. Namun karena kegiatannya itu, biasanya
ia tidur cepat juga, tapi malam ini rasa kantuknya seperti hilang begitu saja.
Berita dari ibu tadi membuat Ana teringat lagi. Teringat akan kerinduannya
menimang si kecil, buah hatinya sendiri.
Lima tahun
pernikahan adalah bukan waktu yang sebentar. Awalnya Ana biasa saja ketika enam
bulan pertama ia tak kunjung hamil juga, ia malah merasa punya waktu lebih
banyak untuk suaminya dan merintis kariernya.
Seiring dengan
berjalannya waktu dan tak hentinya orang bertanya, dari mulai keluarga sampai
teman-temannya, tentang kapan mereka menimang bayi, atau kenapa belum hamil
juga, Ana mulai khawatir. Fitrahnya sebagai wanita juga mulai bertanya-tanya,
apa yang terjadi pada dirinya, atau kapan ia hamil seperti
pasangan lainnya…
Atas saran dari
banyak orang, Ana mencoba konsultasi ke dokter kandungan. Seorang dokter wanita
dipilihnya. Risih juga ketika menunggu giliran di ruang tunggu klinik, pasien
di sekitarnya datang dengan perut membuncit dan obrolan ringan seputar
kehamilan mereka. Atau ketika salah seorang diantara mereka bertanya sudah
berapa bulan kehamilannya.
“Saya tidak sedang
hamil, hanya ingin konsultasi saja…” senyum Ana sabar meski dadanya berdebar,
sementara Mas Irfan semakin pura-pura asyik dengan korannya. Ana bernafas lega
ketika dokter menyatakan ia sehat-sehat saja. Hindari stress dan lelah, hanya
itu nasehatnya.
Setahun berlalu.
Di tengah kebahagiaan rumah tangganya, ada cemas yang kian mengganggu Ana.
Kerinduan menimang bayi semakin menghantuinya. Sering Ana gemas melihat tingkah
polah anak-anak kecil disekitarnya, dan semakin bertanya-tanya apa yang terjadi
dengan dirinya.
Setelah itu
mulailah usaha Ana dan suaminya lebih gencar dan serius mengupayakan kehamilan.
Satu demi satu saran yang diberikan orang lain mereka lakukan, sejauh itu baik
dan tidak melanggar syariat agama. Beberapa dokter wanita juga kadang mereka
datangi bersama, meski lagi dan lagi, sama saja hasilnya. Sementara hari demi
hari, tahun demi tahun terus berlalu.
Kadang Ana
menangis ketika semakin gencar pertanyaan ditujukan padanya atau karena cemas
yang kerap mengusik tidurnya. Mas Irfan selalu sabar menghiburnya, “Ana, apa
yang harus disedihkan? Dengan atau tanpa anak, rumah tangga kita akan berjalan
seperti biasa. Aku sudah sangat bahagia dengan apa yang ada sekarang. Insya
Allah tidak akan ada yang berubah dalam rumah tangga kita…” kata Mas Irfan
suatu ketika seperti bisa membaca jalan pikirannya.
Suaminya memang
tahu kapan Ana sedang mendalam sedihnya dan harus dihibur agar tidak semakin
larut dalam kesedihan. Di saat-saat seperti itu memang cuma suaminya yang
paling bisa menghiburnya, tentu saja disamping do’a dan berserah dirinya pada
Tuhan.
Kadang Ana heran
kenapa Mas Irfan bisa begitu sabar dan tenang, seolah-olah tidak ada apapun
yang terjadi. Dia selalu ceria dan optimis seperti biasa. Apakah memang pria
tidak terlalu memasukkan unsur perasaannya atau mereka hanya pintar
menyembunyikan perasaan saja? Ana tidak tahu, yang pasti sikap Mas Irfan banyak
membantu melewati masa-masa sulitnya.
Sebenarnya Ana
juga bukan selalu berada dalam kondisi sedih seperti itu. Sesekali saja ia agak
terhanyut oleh perasaannya, biasanya karena ada faktor penyulutnya, yang
mengingatkan ia akan mimpinya yang belum terwujud itu. Selebihnya Ana bahagia
saja, bahkan banyak aktivitas atau prestasi yang diraihnya.
Buatnya tidak ada
waktu yang disia-siakan. Selagi sempat, semua peluang dan kegiatan positif
dilakukannya. Kadang-kadang beberapa teman menyatakan kecemburuannya terhadap Ana
yang bisa melakukan banyak hal tanpa harus disibuki oleh rengekan si kecil. Ana
tersenyum saja.
Ana juga tidak
pernah menyalahkan teman-temannya kalau ketika sesekali bertemu obrolan banyak
diisi tentang anak dan seputarnya. Buatnya itu hal biasa, usia mereka memang
usia produktif. Jadi wajar saja kalau pembicaraan biasanya seputar pernikahan,
kehamilan, atau perkembangan anak-anak mereka yang memang semakin lucu dan
menakjubkan, atau cerita lain seputar itu. Biar bagaimanapun Ana menyadari
menjadi ibu adalah proses yang tidak mudah dan perlu belajar atau bertukar
pengalaman dengan yang lain.
Tapi
kadang-kadang, sesekali ketika Ana sedang sedih, rasanya ia tidak mau mendengar
itu dulu. Ana senang juga jika ada yang berusaha menjaga perasaannya
diwaktu-waktu tertentu, dengan tidak terlalu banyak bercerita tentang hal
tersebut, bertanya, atau malah menyemangati dengan do’a dan dukungan agar sabar
dan yakin akan datangnya si kecil menyemarakkan rumah tangganya.
Ana tersadar dari
lamunannya. Diminumnya segelas air dingin dari lemari es. Sejuk sekali.
Meskipun malam tapi udara terasa pengap. Ana meneruskan tidurnya. Dalam lelap
ia bermimpi bermain bersama beberapa gadis kecil. Senang sekali.
Siang keesokan
harinya, Ana sedang merancang sebuah ruang pameran di kantornya. Ada festival
Islam yang akan digelar, mungkin karena tidak banyak designer interior
berjilbab rapi seperti Ana, ia dipercaya merancangnya. Ketika sedang
mencorat-coret gambar, Fitri mengejutkannya, “Mbak Ana, ada tamu yang mau
bertemu.”
“Dari mana, Fit?”
tanya Ana.
“Katanya dari Yayasan Amanah, mbak, tanya soal aplikasi mbak Ana bulan kemarin.”
“Oh itu. Iya deh, saya ke depan sepuluh menit lagi.” jawab Ana.
“Katanya dari Yayasan Amanah, mbak, tanya soal aplikasi mbak Ana bulan kemarin.”
“Oh itu. Iya deh, saya ke depan sepuluh menit lagi.” jawab Ana.
Setelah
berbincang-bincang dengan tamunya, akhirnya Ana menyepakati mengangkat salah
satu anak yatim yang diasuh yayasan tersebut sebagai putra asuhnya. Namanya
Safiq. Ana memang selalu menyisihkan rezekinya untuk mereka yang membutuhkan.
Dan kali ini, ia
berniat untuk menyantuni dan mengasuh Safiq seperti anaknya sendiri, itupun
setelah dimusyawarahkan dengan suaminya. Ana berharap, dengan begitu ia bisa
cepat hamil. Ibu-ibu banyak yang mengatakan, mungkin Ana perlu ’pancingan’ agar
bisa lekas dapat momongan.
Begitulah, mulai
saat itu, Safiq yang berusia 12 tahun, tinggal bersama Ana dan Irfan.
Mempunyai ’anak’,
membawa banyak hikmah bagi Ana. Ia jadi semakin teliti dan perhatian. Apapun
kebutuhan Safiq berusaha ia penuhi. Mulai dari baju hingga mainan, juga kebutuhan
sekolah bocah itu yang tahun depan mau masuk SMP.
Ana juga
mencurahkan seluruh kasih sayangnya pada Safiq, hingga mas Irfan yang merasa
tersisih, sempat melayangkan protes sambil bercanda, ”Hmm, gimana kalau punya
anak beneran ya, bisa-bisa aku nggak boleh tidur di kamar.”
Ana cuma tertawa
menanggapinya.
”Ah, mas bisa aja.” dia mencubit pinggang laki-laki itu.
Dan selanjutnya merekapun bergumul di ranjang untuk memuaskan satu sama lain, sambil berharap persetubuhan kali ini akan membuahkan hasil.
”Ah, mas bisa aja.” dia mencubit pinggang laki-laki itu.
Dan selanjutnya merekapun bergumul di ranjang untuk memuaskan satu sama lain, sambil berharap persetubuhan kali ini akan membuahkan hasil.
Esok paginya,
seperti biasa, Ana menyiapkan sarapan bagi Safiq. Tidak terasa, sudah hampir
tiga bulan bocah itu tinggal bersamanya. Dan Ana merasa senang sekaligus
bersyukur, karena pilihannya ternyata tidak salah, Safiq sangat pintar dan
baik. Anak itu tidak nakal, sangat menurut meski agak sedikit pendiam. Hanya
kepada Ana lah ia mau berbincang, sedangkan dengan mas Irfan, Safiq seperti
menjaga jarak.
”Kenapa, Fiq?”
tanya Ana menanyakan sebabnya saat mereka sarapan bersama. Saat itu mas Irfan
sudah berangkat ke kantor, sedangkan Safiq masuk siang.
Bocah itu terdiam,
hanya jari-jari tangannya yang bergerak memainkan bulatan bakso di atas nasi
gorengnya.
”Tidak apa-apa,
ngomong saja sama Umi.” kata Ana. Dia memang menyuruh Safiq untuk memanggilnya
dengan panggilan ’Umi’ sedangkan untuk mas Irfan ’Abi’.
”Ah, nggak, Mi.” Safiq masih tampak takut.
Ana menatapnya. Di
usianya yang baru beranjak remaja, bocah itu terlihat tampan. Kalau besar
nanti, pasti banyak gadis yang akan terpikat kepadanya.
”Umi nggak akan
marah.” kata Ana lagi, penuh dengan sabar.
Safiq menggeleng,
dia menundukkan kepalanya semakin dalam.
Kasihan, Ana pun mendekatinya.
Kasihan, Ana pun mendekatinya.
”Tidak apa-apa kalau kamu nggak mau bilang, umi nggak akan maksa.” Dipeluknya bocah kecil itu, diletakkannya kepala Safiq di atas gundukan buah dadanya.
Ia biarkan Safiq
menangis di situ.
”Maaf kalau Umi sudah membuatmu takut.” ucap Ana penuh nada penyesalan, ia memang tidak berharap perbincangan ini akan berakhir seperti itu.
Lama mereka
berpelukan, hingga Ana merasa tangis Safiq perlahan mereda dan akhirnya
benar-benar berhenti. Ia sudah akan melonggarkan dekapannya saat merasakan
sesuatu yang lembut mengendus dan menyundul-nyundul pelan buah dadanya.
Ah, Safiq! Apa
yang kamu lakukan? Ana memang cuma mengenakan daster longgar saat itu, hanya
saat keluar rumah atau ada tamu pria, ia mengenakan jilbab. Dengan pakaian
seperti ini, bibir Safiq yang bermain di belahan payudaranya sungguh
sangat-sangat terasa.
Cepat Ana melirik
ke bawah, dilihatnya si bocah yang kini berusaha mencium dan menyusu ke arah
buah dadanya.
”Safiq!” Ana
menegur, tapi dengan suara dibuat selembut mungkin, takut membuat bocah itu
kembali mengkerut. Padahal dalam hati, Ana benar-benar mengutuk aksinya yang
sudah kurang ajar.
Safiq mendongakkan kepala, ”M-maaf, Mi.” suaranya parau, sementara tubuhnya gemetar pelan.
Safiq mendongakkan kepala, ”M-maaf, Mi.” suaranya parau, sementara tubuhnya gemetar pelan.
Tak tega, Ana
segera memeluknya kembali. ”Tidak apa-apa, tapi jangan diulang lagi ya. Itu
tidak boleh.” ia membelai rambut Safiq penuh rasa sayang.
Safiq mengangguk. ”Maaf, Mi. Safiq cuman pengen tahu gimana rasanya nenen.”
Ana terkejut, ”Emang kamu belum pernah?” tanyanya tak percaya.
”Safiq kan yatim piatu dari kecil, Mi. Jangankan nenen, siapa ibu Safiq aja nggak ada yang tahu. Safiq ditinggal di depan pintu yayasan.” jawab bocah itu dengan getir.
Ana meneteskan air
mata mendengarnya, ia mendekap dan mengelus kepala Safiq lebih erat lagi.
Setelah terdiam cukup lama, Ana akhirnya membuka suara, ”Bener kamu pengen
nenen?” tanyanya dengan suara berat. Keputusan sudah ia ambil, meski itu
awalnya begitu berat.
Safiq
menganggukkan kepala.
”Janji ya, cuma nenen?” tanya Ana sambil memandang matanya.
”I-iya, Mi.” angguk Safiq cepat.
”Dan jangan
ceritakan ini sama orang lain, termasuk pada Abi. Karena anak sebesar kamu
sudah tidak seharusnya nenen pada Umi, ini tidak boleh. Tapi karena kasihan,
Umi terpaksa mengabulkannya.” terang Ana, terbersit nada getir dalam suaranya.
”Iya, Mi. Safiq
janji.” kata bocah kecil itu.
Begitulah, dengan
perlahan Ana pun menurunkan dasternya hingga buah dadanya yang besar terlihat
jelas. Meski masih tertutup BH, benda itu tampak begitu indah. Ukurannya yang
di atas rata-rata membuatnya jadi tampak sesak. Ana segera membuka cup BH-nya,
tanpa ada yang menyangga, bulatan kembar itupun terlontar dengan kerasnya hingga
sanggup membuat mata bulat Safiq makin melotot lebar.
”M-mi…” Safiq
memanggil, tapi pandangannya sepenuhnya tertuju pada area dada sang ibu angkat
yang kini sudah terbuka lebar, siap untuk ia jamah.
”Ayo, katanya mau
nenen?” kata Ana sambil menarik salah satu bulatan payudaranya ke depan,
memberikan putingnya yang merona merah pada Safiq.
Tahu ada benda
mulus menggiurkan yang mendekat ke arah mulutnya, Safiq pun membuka bibir, dan
mencaplok puting Ana dengan perlahan, ”Ahm…” lenguh mereka berdua hampir
bersamaan.
Ana kegelian
karena ada lidah basah yang melingkupi ujung payudaranya, sedangkan Safiq
merasa nikmat mendapat benda yang selama ini ia idamkan-idamkan. Lidahnya terus
menari membelai puting payudara Umi-nya, sedangkan bibirnya terus mengecap untuk
mencucup dan menghisap-hisapnya.
”Ah, jangan
keras-keras, Fiq. Sakit!” desis Ana di sela-sela jilatan sang anak angkat. Ia
mulai merasa merinding, jilatan Safiq mengingatkannya pada mas Irfan, yang
biasa melakukannya sebelum mereka tidur. Meski aksi Safiq terasa agak sedikit
kaku, tapi sensasi dan rasanya tetaplah sama.
Sementara itu,
Safiq dengan tak sabar dan penasaran terus menyusu. Mulutnya dengan liar
bermain di gundukan payudara Ana. Tidak cuma yang kiri, yang kanan juga ia
perlakukan sama. Kadang Safiq malah membenamkan wajahnya di belahan payudara Ana
yang curam, dan membiarkan mukanya dikempit oleh bulatan kenyal itu, sambil
tangannya mulai meremas-remas ringan.
”Ah, Fiq.” rintih Ana
mulai tak sadar. Ia menekan kepala bocah itu, berharap Safiq mempermainkan
payudaranya lebih keras lagi.
Safiq yang gelagapan berusaha mencari udara, digigitnya salah satu puting Ana hingga umi-nya itu menjerit kesakitan.
”Auw, Fiq! Apaan sih, sakit tahu!” Ana mendelik marah, tapi melihat muka Safiq yang memerah dan nafasnya yang ngos-ngosan, iapun akhirnya mengerti. ”Eh, maaf. Umi nggak tahu.”
”Gak apa-apa, Mi.” Safiq tersenyum, kedua tangannya masih hinggap di dada Ana dan terus meremas-remas ringan disana.
”Gimana, kamu suka?” tanya Ana sambil membelai kepala Safiq penuh rasa sayang.
Si bocah
mengangguk,
”Iya, Mi.”
”Mau lagi?” tanya Ana.
Safiq mengangguk, senyumnya terlihat semakin lebar.
”Kalau begitu, ayo sini.” Ana pun menarik kepala bocah itu dan ditaruhnya kembali ke atas gundukan payudaranya.
”Iya, Mi.”
”Mau lagi?” tanya Ana.
Safiq mengangguk, senyumnya terlihat semakin lebar.
”Kalau begitu, ayo sini.” Ana pun menarik kepala bocah itu dan ditaruhnya kembali ke atas gundukan payudaranya.
Begitulah, sampai
siang, Safiq terus menyusu di bongkahan payudara Ana, sang ibu angkat yang
masih berusia muda, tidak lebih dari 30 tahun. Dengan payudara yang masih mulus
sempurna, Safiq benar-benar dimanjakan. Ia menjadi bocah yang paling beruntung
di dunia. Sementara Ana juga merasa senang karena kini ia menjadi semakin intim
dan akrab dengan sang putra angkat yang sangat ia sayangi.
Rutinitas itu
terus berlangsung. Kapanpun dan dimanapun Safiq ingin, asal tidak ada orang
-terutama mas Irfan- Ana dengan senang hati menyusuinya. Dan seperti yang sudah
dijanjikan, Safiq memang tidak pernah meminta lebih.
Bocah itu cuma
meremas dan menghisap, tidak macam-macam. Ditambah lagi, sama sekali tidak ada
nafsu ataupun birahi dalam setiap jilatannya, Safiq benar-benar murni
melakukannya karena pengen nenen. Ana jadi merasa aman.
Tapi semua itu
berubah saat Safiq naik ke jenjang SMP.
Umur yang
bertambah membuat pikiran bocah itu semakin berkembang. Dari yang semula cuma
nenen biasa, kini berubah menjadi jilatan mesra yang sangat lembut namun sangat
menggairahkan. Remasan bocah itu juga semakin bervariasi kadang keras, kadang
juga lembut.
Kalau menghisap
puting yang kiri, Safiq memijit dan memilin-milin yang kanan, begitu pula
sebaliknya. Tak jarang Safiq mendempetkan dua puting itu dan menghisapnya dalam
satu waktu. Pendeknya, Safiq sekarang sudah tumbuh menjadi remaja yang tahu apa
arti seks yang sesungguhnya.
Ana bukannya tidak
mengetahui hal itu. Ia sudah bisa menebaknya saat melihat penis Safiq yang
sedikit ereksi saat mereka sedang melakukan ’ritual’ itu. Tapi Ana pura-pura
tidak tahu dan mendiamkannya saja.
Toh Safiq juga
tidak berbuat macam-macam, anak itu tetap ’sopan’. Malah Ana yang panas dingin,
itu karena ukuran penis Safiq yang saat ini sudah melebihi punya mas Irfan,
padahal usia bocah itu masih sangat muda. Gimana kalau nanti sudah besar…!!! ah, Ana
tidak kuat membayangkannya.
Esoknya, saat
membangunkan Safiq untuk sholat subuh, Ana disuguhi pemandangan baru lagi. Saat
itu Safiq masih tertidur lelap, tapi tidak demikian dengan penisnya. Benda itu
sedang berdiri dan menjulang begitu tegarnya. Sempat Ana terpana dan terpesona
untuk beberapa saat, tapi setelah bisa menguasai diri, ia segera membangunkan
sang putra.
”Fiq, ayo sholat
dulu.”
Safiq cuma menggeliat
lalu meneruskan tidurnya. Ana jadi tergoda. Apalagi sekarang di depannya, penis
Safiq jadi kelihatan lebih menantang. Ukurannya yang begitu besar membuat Ana
tercengang, dengan warna coklat kehitaman dan ‘kepala’ yang masih kelihatan
imut (Safiq baru bulan kemarin disunat), benda itu jadi terasa seperti magnet
bagi Ana.
Tanpa terasa
perlahan jari-jarinya terulur dan mulai menggenggamnya. Ia memperhatikan wajah
sang putra angkat, Safiq terlihat tenang saja, matanya tetap terpejam rapat
sambil menikmati tidur pulasnya.
Dengan hati
berdebar dan penuh perhitungan, takut dipergoki oleh sang suami -juga takut
bila Safiq tiba-tiba bangun- Ana mulai mengocok benda panjang itu
perlahan-lahan. Saat diperhatikannya Safiq tetap tertidur, malah bocah itu seperti
menikmatinya -terlihat dari desah nafasnya yang semakin memburu dan tarikan
lirih karena terangsang.
Ana pun
mempercepat kocokannya. Hingga tak lama kemudian berhamburan cairan putih
kental dari ujungnya. Safiq ejakulasi. Yang gilanya, akibat rangsangan Ana, ibu
angkatnya sendiri.
Merasa sangat
bersalah, dengan tergopoh-gopoh Ana segera membersihkannya. Saat itulah, Safiq
tiba-tiba terbangun.
”Eh, umi…”
gumamnya tanpa tahu apa yang terjadi.
Ana mengelap sisa sperma Safiq ke ujung dasternya,
”Ayo sholat dulu, sayang.” katanya dengan nada suara dibuat senormal mungkin, padahal dalam hati ia sangat berdebar-debar.
Ana mengelap sisa sperma Safiq ke ujung dasternya,
”Ayo sholat dulu, sayang.” katanya dengan nada suara dibuat senormal mungkin, padahal dalam hati ia sangat berdebar-debar.
Safiq
memperhatikan cairan putih kental yang berceceran di perutnya. Untuk yang ini, Ana
tidak sempat membersihkannya. ”Ini apa, Mi?” Safiq mengambil cairan itu dan
mempermainkan di ujung jarinya, lalu mengendusnya ke hidung.
”Ih, baunya aneh.”
bocah itu nyengir.
Ana tersenyum,
”Tidak apa-apa, itu tandanya kamu sudah mulai dewasa.”
Safiq memandang umi-nya, ”Dewasa? Safiq nggak ngerti. Maksud Umi apaan?” tanyanya.
”Nanti Umi jelaskan, sekarang mandi dulu ya.” Ana membimbing putra kesayangannya turun dari ranjang.
Ana tersenyum,
”Tidak apa-apa, itu tandanya kamu sudah mulai dewasa.”
Safiq memandang umi-nya, ”Dewasa? Safiq nggak ngerti. Maksud Umi apaan?” tanyanya.
”Nanti Umi jelaskan, sekarang mandi dulu ya.” Ana membimbing putra kesayangannya turun dari ranjang.
Safiq menggeleng,
”Nggak mau ah, Mi. Dingin!”
”Eh, harus. Kalau nggak, nanti badanmu kotor terus. Ini namanya mandi besar.” terang Ana.
”Mandi besar?” tanya Safiq, lagi-lagi tidak mengerti.
”Ah, iya. Kamu kan belum pernah melakukannya. Ya udah, ayo Umi ajarin.” Ana mengajak Safiq untuk beranjak ke kamar mandi.
”Nggak mau ah, Mi. Dingin!”
”Eh, harus. Kalau nggak, nanti badanmu kotor terus. Ini namanya mandi besar.” terang Ana.
”Mandi besar?” tanya Safiq, lagi-lagi tidak mengerti.
”Ah, iya. Kamu kan belum pernah melakukannya. Ya udah, ayo Umi ajarin.” Ana mengajak Safiq untuk beranjak ke kamar mandi.
Di ruang tengah,
dilihatnya mas Irfan kembali tidur setelah menunaikan sholat subuh. Sudah
kebiasaan laki-laki itu, malam melek untuk sholat tahajud, habis subuh tidur
lagi sampai waktu sarapan tiba. Dengan bebas Ana membimbing Safiq masuk ke
kamar mandi.
“Lepas bajumu,”
katanya memerintahkan.
Safiq dengan patuh
melakukannya. Ia tidak risih melakukannya karena sudah biasa telanjang di depan
ibu angkatnya. Tak berkedip Ana memperhatikan peNa Safiq yang kini sudah
mengkerut dan kembali ke ukuran semula.
”Pertama-tama,
baca Bismillah, lalu niat untuk menghilangkan hadast besar.” kata Ana.
”Emang Safiq baru dapat hadast besar ya?” tanya Safiq pada ibu angkatnya yang cantik itu.
Ana dengan sabar menjawab, ”Iya, kamu tadi mimpi enak kan?” tanyanya.
Safiq mengangguk,
”Iya sih, tapi Safiq sudah lupa ngimpiin apa.”
”Nggak masalah, itu namanya kamu mimpi basah. Itu tanda kedewasaan seorang laki-laki. Dan sehabis dapat mimpi itu, kamu harus mandi besar biar badanmu suci lagi.” sahut Ana.
Safiq mengangguk mengerti.
”Terus, selanjutnya apaan, Mi?”
”Emang Safiq baru dapat hadast besar ya?” tanya Safiq pada ibu angkatnya yang cantik itu.
Ana dengan sabar menjawab, ”Iya, kamu tadi mimpi enak kan?” tanyanya.
Safiq mengangguk,
”Iya sih, tapi Safiq sudah lupa ngimpiin apa.”
”Nggak masalah, itu namanya kamu mimpi basah. Itu tanda kedewasaan seorang laki-laki. Dan sehabis dapat mimpi itu, kamu harus mandi besar biar badanmu suci lagi.” sahut Ana.
Safiq mengangguk mengerti.
”Terus, selanjutnya apaan, Mi?”
”Selanjutnya…
basuh kemaluanmu seperti ini,” Ana meraih penis Safiq dan mengguyurnya dengan
air. Ajaib, bukannya mengkeret karena terkena air dingin, benda itu malah
mendongak kaku dan perlahan kaku dan menegang karena usapan tangan Ana.
”Mi, enak…” Safiq
merintih.
Ana jadi serba salah, cepat ia menarik tangannya. ”Eh,”
Tapi Safiq dengan kuat menahan, ”Lagi, Mi… enak,” pintanya.
Ana jadi serba salah, cepat ia menarik tangannya. ”Eh,”
Tapi Safiq dengan kuat menahan, ”Lagi, Mi… enak,” pintanya.
Melihat pandangan
mata yang sayu dan memelas itu, Ana jadi tidak tega untuk menolak. Tapi
sebelumnya, ia harus memastikan segalanya aman dulu. Dikuncinya pintu kamar mandi,
lalu ia berbisik pada sang putra.
”Jangan berisik,
nanti Abimu bangun.” sambil tangan kanannya mulai mengocok pelan batang penis
Safiq.
Safiq mengangguk. Yang kurang ajar, untuk meredam teriakannya, ia meminta nenen pada Ana. “Plis, Mi. Safiq pengen.”
Safiq mengangguk. Yang kurang ajar, untuk meredam teriakannya, ia meminta nenen pada Ana. “Plis, Mi. Safiq pengen.”
Menghela nafas karena merasa dipecundangi Ana pun memberikan bongkahan payudaranya. Jadilah,
di kamar mandi yang sempit itu, ibu serta anak yang seharusnya saling
menghormati itu, melakukan hal buruk yang sangat dilarang agama. Safiq
menggelayut di tubuh montok ibu angkatnya, sambil mulutnya menyusup ke bulatan
payudara Ana.
Bibirnya menjilat
liar disana. Sementara istri Irfan, dengan nafas memburu menahan kenikmatan,
terus mengocok penis besar sang putra hingga menyemburkan sperma yang dikandung
di dalamnya tak lama kemudian.
Banyak dan kental
sekali cairan itu, meski tidak seputih yang pertama, tapi pemandangan itu sudah
cukup membuat Ana jadi horny. Wanita itu merasakan celana dalamnya jadi basah.
Tapi tentu saja ia tidak mungkin menunjukkannya pada Safiq, bocah itu tidak
akan mengerti. Jadi cepat-cepat ia bersihkan semuanya, takut mas Irfan yang
sedang tertidur di ruang tengah tiba-tiba bangun dan memergoki ulah mereka.
Didengarnya Safiq
menarik nafas panjang sambil mendesah puas, ”Terima kasih, Mi. Nikmat banget.
Badan Safiq jadi enteng.”
Ana mengangguk mengiyakan. ”Sudah, sekarang mandi sana. Ulangi semuanya dari awal.”
Safiq tersenyum, dan dengan bimbingan dari ibu angkatnya yang cantik, iapun melakukan mandi wajib pertamanya.
Ana mengangguk mengiyakan. ”Sudah, sekarang mandi sana. Ulangi semuanya dari awal.”
Safiq tersenyum, dan dengan bimbingan dari ibu angkatnya yang cantik, iapun melakukan mandi wajib pertamanya.
Sejak saat itu, level
’permainan’ mereka jadi sedikit meningkat. Ana tidak cuma memberikan
payudaranya, tapi kini juga harus memuaskan Safiq dengan tangannya. Dan si
bocah, tampak senang-senang saja menerimanya. Siapa juga yang bakal menolak
kenikmatan seperti itu.




